Spanyol 2–1 Inggris: Cara Membangunkan Banteng Merah

Ser
6 min readJul 15, 2024

--

Timnas Spanyol merayakan gelar juara keempat pada turnamen Piala Eropa 2024, setelah mengalahkan Timnas Inggris dengan skor 2–1, Senin (15/07)

(Disclaimer: tidak ada pembahasan detail statistik pertandingan)

Mari kita kembali ke masa-masa sebelum Timnas Spanyol sampai di final dan membawa trofi Piala Eropa tahun ini kembali ke negara mereka.

Sebelum pagelaran Piala Eropa dilangsungkan, tepatnya tanggal 14 Juni, admin dari akun @UEFAEURO di X membagikan sebuah foto promosi yang jelas memicu reaksi dari penggemar Timnas Spanyol. Tidak ada pemain dari Spanyol terpampang disana. Memberi kesan bahwa turnamen itu sendiri meremehkan tim asuhan Luis De la Fuente. Barangkali mereka berpikir tidak mungkin tim seperti La Roja ini populer dan bisa berkiprah lebih jauh. Postingan ini secara tidak sadar membangunkan banteng merah yang tertidur lama selama 3 edisi Piala Eropa.

Seminggu sebelum ini, Timnas Spanyol dengan resmi mengumumkan 26 pemain mereka dengan cara unik. Mereka mengajak keluarga atau kerabat setiap pemain yang dipanggil untuk bekerjasama, menyebut nama orang tersayang mereka di video dengan bangganya. Jika kalian menyaksikan video itu sampai habis, kalian akan merasakan perasaan hangat atau bangga atau tersentuh, padahal kalian bukanlah bagian dari mereka. Video seperti itu secara tak langsung membangkitkan semangat mereka, yang mana itu ekuivalen dengan membangunkan sang banteng merah yang tertidur pulas.

Mereka memulai petualangan di Olympiastadion Berlin, berada di grup B atau kalian bisa menyebutnya grup neraka, bersaing dengan Italia, Kroasia, dan Albania. Sebagai catatan, Italia adalah juara Piala Eropa 2020, Kroasia merupakan runner up Piala Dunia 2018, dan Albania yang merupakan kuda hitam yang menyulitkan tim unggulan (lihat saja apa yang mereka perbuat pada Timnas Italia). Perlahan namun pasti, tim ini menjadi menakutkan. Jauh dari perkiraan kebanyakan orang. 3 pertandingan diselesaikan dengan kemenangan dan tidak ada satupun gol pernah bersarang di gawang Unai Simon. Kemudian mereka menempuh fase gugur dengan menghadapi Georgia, Jerman, dan Prancis. Catatan lagi, Georgia merupakan tim kuda hitam yang ternyata jauh lebih merepotkan (lihat apa yang mereka perbuat dengan Timnas Portugal), kemudian Jerman yang perkasa adalah juara Piala Dunia 2014 dan tuan rumah kompetisi ini, serta Prancis yang merupakan juara Piala Dunia 2018. Itupun mampu mereka tundukkan dengan meyakinkan dan mengagumkan. Tidak perlu membutuhkan pertolongan gol bunuh diri lawan ataupun penalti. Alhasil, seluruh pertandingan Piala Eropa 2024 yang dilakoni La Roja dituntaskan dengan rekor kemenangan sempurna. Tidak ada hasil imbang terselip di sana. Pada saat itu, pandangan remeh mereka soal tim asuhan Luis De la Fuente mulai dipertanyakan. Beberapa dari mereka tidak ragu untuk memercayakan tim ini bakal menjadi kampiun, sebagian lagi masih meragukan mereka sampai laga puncak. Kelompok yang masih meragukan La Roja ini, tanpa sadar menekan tombol pemicu di sekitar sang banteng merah.

Ada satu lagi momen sebelum laga akhir pamungkas. Pada hari Jumat waktu Indonesia, petenis asal Spanyol, Carlos Alcaraz, membuat pidato yang mengundang keriuhan di lapangan tenis dan bahkan sosial media. Setelah memenangi laga semifinal Wimbledon melawan Daniil Medvedev, ia kurang lebihnya mengucapkan bahwa hari Minggu akan menjadi sangat menyenangkan untuk Spanyol. Penonton disana meneriakan “boo” ke arahnya, sembari tidak menerima ucapan itu (Wimbledon diadakan di Inggris, maklum jika mereka merasa iritasi mendengar ucapan itu). Dia buru-buru mengklarifikasi bahwa dia tak bermaksud mengatakan negara kelahirannya itu akan menang. Tampaknya Carlos tidak pandai berbohong. Dia seperti memberi kesan bahwa ia meyakini Spanyol mampu mengatasi Inggris di final. Dia mungkin saja tak sadar berperan besar dalam memicu sang banteng merah untuk “mengamuk”.

Kemudian, ini dia. Mereka berada di Olympiastadion Berlin lagi, ingin menutup sempurna lingkaran petualangan mereka di kompetisi ini dengan sempurna. Lawan mereka adalah Timnas Inggris yang begitu ajaib. Jauh lebih ajaib ketimbang Prancis, dengan alasan bahwa mereka memiliki setiap individu yang bisa membalikkan keadaan secara tak terduga. Memang benar ini terjadi di final. Di babak pertama saja, tidak ada gol tercipta. Mereka saling menyulitkan satu sama lain. Kemudian di babak kedua, Spanyol unggul terlebih dahulu lewat gol Nico Williams (menit 47). Kemudian Cole Palmer menyamakan kedudukan beberapa saat setelah ia turun bermain (menit 73), membuat pertandingan ini semakin panas dan menakutkan. Menakutkan karena Spanyol sudah kehilangan Rodri lantaran cedera. Kalian pasti paham betapa pentingnya Rodri ini. Beruntungnya Timnas Spanyol mampu mengatasi kendala ini dengan baik. Siapapun yang mengikuti timnas ini sedari awal, pasti tahu bahwa mereka punya serangkaian penawar untuk mengatasi masalah yang mengganggu misi mereka. Contoh terbaik adalah ketika Pedri cedera di laga melawan Jerman. Dani Olmo yang menggantikan Pedri menjelma menjadi berkah untuk tim ini. Dia menjadi konsisten dalam menyumbangkan gol dan assist di 3 laga. Bahkan di final, nama Dani pun kembali menjadi buah bibir berkat aksinya mencegah sundulan pemain Inggris, Marc Guehi, bersarang di gawang. Itu terjadi di menit 89! Bayangkan jika gol Guehi lolos, kedua tim dan penonton pasti kelelahan karena harus berjuang di babak tambahan waktu. Kemudian contoh lain, ketika pergantian Alvaro Morata ke Mikel Oyarzabal di laga tadi. Pergantian ini berbuah manis. Mikel menjadi penentu kemenangan La Roja beberapa menit jelang usainya laga (menit 86). Sungguh laga luar biasa yang ditutup dengan hal luar biasa, bagi penggemar Timnas Spanyol atau siapapun yang mendukung mereka di final.

Ada hal yang aku percayai. Ketika kamu melakukan sesuatu dengan kesungguhan dan ketulusan, hasil yang terbaik niscaya akan kamu dapatkan. “Tapi mereka juga bermain dengan hal demikian?”, demikian sanggahanmu. Itu benar. Dua hal saja masih belum cukup. Ketika kamu memahami dengan sangat baik lingkungan, para rekan, permasalahan, dan apapun itu, kamu akan mampu menemukan 1001 cara untuk mengatasi setiap masalah yang datang. Aku berbicara soal Luis De la Fuente. Siapa yang mengenal pelatih bijak ini? Dia memiliki riwayat melatih tim La Rojita (istilah untuk Timnas Spanyol junior) selama beberapa tahun. Garis bawahi kalimat terakhir. Ia sudah melatih tim junior sejak tahun 2013 hingga 2022. Mustahil jika De la Fuente tidak mengenal setiap tindak tanduk maupun kelebihan kekurangan para pemain mudanya. Beberapa pemain yang berlaga di Piala Eropa tahun ini juga sudah pernah merasakan pengalaman dilatih pria berusia 63 tahun. Maka tak sulit untuknya mencari para pemain yang sesuai dengan rencana besarnya, karena ia sudah mengenal baik mereka. Maka inilah satu dari sekian kunci keberhasilan Timnas Spanyol meraih kejayaan setelah puasa 12 tahun lamanya. Inilah cara membangunkan sang banteng merah agar mengamuk kembali di kancah sepak bola.

Tidak lupa untuk memberikan kredit untuk seluruh pemain. Akan panjang jika menjabarkan satu-persatu pemain. Bagaiamana jika kita berfokus pada gelar individu yang didapat mereka?

Pemain terbaik di laga Spanyol vs Inggris jatuh pada Nico Williams. Satu gol miliknya di laga tadi memberi asa untuk La Roja serta kedisiplinannya dalam menyerang patut diberi apresiasi. Namun berbicara di luar laga ini, Nico memang pemain paling konsisten dan cepat. Sangat beruntung mereka memiliki Nico.

Pemain terbaik jatuh pada Rodri. Itu jelas. Bagaimana ia mampu mengatasi tekanan, membaca permainan sedemikian baiknya, membantu melancarkan scenario serangan dengan begitu tenangnya, itu luar biasa. Kalian yang mengikuti kiprahnya di Manchester City akan mengamini fakta itu.

Pencetak gol terbanyak jatuh pada Dani Olmo. Sebenarnya dia tidak sendiri. Barangkali dia unggul dengan 2 assist yang ia miliki, sudah cukup membuatnya menggondol trofi individu ini.

Pemain termuda terbaik jatuh pada Lamine Yamal. Tidak perlu meragukan kualitasnya lagi. Satu gol serta 3 assist di usia 17 tahun adalah pencapaian luar biasa. Dia layak mendapatkan kado tambahan ini di ulang tahunnya.

Semua pencapaian individu ini mengingatkanku dengan turnamen Piala Eropa 2008 dan 2012, dimana pemain Spanyol mendominasi raihan gelar individu, kecuali gelar pemain muda terbaik. Terakhir kali mereka memiliki Pedri yang menjadi pemain muda terbaik di ajang Piala Eropa 2020. Hal yang unik adalah bahwa La Roja menegaskan eksistensi mereka sebagai penghasil pemain sepakbola berusia belia terbaik serta tahun ini mereka punya gelandang serang yang memenangkan gelar pencetak gol terbanyak. Barangkali keharusan memiliki striker di skuad Timnas Spanyol bisa diperdebatkan kembali.

Satu hal yang perlu diingat, tidak ada pesta yang abadi. Tidak ada sesuatu yang kekal. Piala yang dipeluk erat oleh mereka bisa saja lepas. Sebutan “penyelamat wajah sepak bola” yang disematkan pada Timnas Spanyol bisa saja tergerus. Setelah berpesta, mereka harus mengingat bahwa mempertahankan itu butuh perjuangan keras. Boleh memberi apresiasi terhadap diri, namun setelah itu konsisten memberikan yang terbaik untuk tim, baik tim nasional maupun klub.

Satu pertanyaan, apakah sebutan “La Furia Roja” yang sudah lama memudar perlu disematkan kembali?

Ditulis oleh Ser.

--

--

Ser
Ser

Written by Ser

let's see how noisy my mind is.

No responses yet